x
PRINGSEWUMAJU.COM- Kota Piringsewu sedang ramai. Pesta demokrasi yang segera digelar membuat semua mata tertuju pada para calon pemimpin. Namun, ada satu nama yang menjadi pusat perhatian, bukan karena prestasi, melainkan skandal:
Yaitu, Saras Handrayani. Putri dari Mukhlis Basri mantan bupati dua periode di Kabupaten Lampung Barat, yang kini menjabat sebagai anggota DPR, Saras seharusnya menjadi calon pemimpin yang dihormati. Namun, kenyataan jauh dari harapan.
Saras, yang berpasangan dengan Fauzi, mantan Wakil Bupati Piringsewu, telah menciptakan gemparan. Video dirinya tengah mabuk dengan sebotol Kapiten Morogan di tangannya tersebar di media sosial dan media online. Gambar itu merusak citranya di hadapan masyarakat. Masyarakat Piringcawu mulai mempertanyakan, bagaimana mungkin seorang yang gemar berpesta hingga mabuk-mabukan bisa dipercaya memimpin kota mereka?
Partai Pedihnya Perjuangan dan Partai Pil KB yang mendukungnya kini kebingungan. Mereka harus bertanggung jawab atas sosok yang mereka pasangkan dengan Paruzi, yang sebenarnya punya rekam jejak lumayan baik selama menjabat sebagai wakil bupati. Namun, bayang-bayang Saras yang kontroversial perlahan menenggelamkan harapan kemenangan mereka.
Saras bukan hanya membawa malu untuk dirinya sendiri. Ayahnya, yang selama ini dikenal sebagai pemimpin berwibawa di Kabupaten Lontong Barat, harus menundukkan kepala. Nama baik yang ia bangun selama bertahun-tahun hancur oleh tindakan anak perempuannya. Di gedung DPR, bisikan dan ejekan mulai terdengar setiap kali sang ayah muncul di rapat. Tak hanya itu, Resti, kakak perempuan Saras, yang juga seorang legislator di Provinsi Lontong tak bisa lagi menahan malu di hadapan rekan-rekannya. Kedudukan dan kehormatan keluarganya kini berada di ujung tanduk.
Sementara itu, di sisi lain kota, suara masyarakat semakin keras. Salah satunya adalah Din Bacut, seorang warga Piringcawu yang sering kali mengkritisi pemerintahan di warung kopi Bude Yanti.
“Kalau Saras yang jadi wakil bupati, apalagi dia biasa dugem, habislah uang rakyat buat pesta-pesta. Kami takut dia nanti cuma mikir kesenangannya sendiri, bukan rakyat.”
Kekecewaan Din Bacut adalah representasi dari suara masyarakat yang merasa bahwa Piringcawu tidak lagi memiliki calon pemimpin yang bisa mereka percayai. Saras, dengan segala kontroversinya, menjadi beban bagi tim kampanye dan partainya. Namun, apakah semua kesalahan ini murni kesalahannya, atau ada sesuatu yang lebih besar di balik semua itu?
Semakin hari, kontroversi Saras Handriyani semakin membesar. Foto-fotonya tengah mabuk dengan botol Kapiten Morogan menjadi bukti nyata yang tak terbantahkan.
Media sosial penuh dengan kecaman dan olok-olok, dan masyarakat Kota Piringcawu yang dikenal religius mulai meradang. Kota yang dijuluki “Kota Santri” ini tak bisa menerima calon pemimpin yang suka hura-hura, apalagi seorang wanita muda yang dianggap tidak punya etika.
Abah Suradi, mantan bupati Piringcawu yang sangat dihormati, dikenal sebagai sosok alim dan religius. Di bawah kepemimpinannya, citra Piringcawu sebagai kota yang religius semakin kuat. Masyarakat, terutama kalangan santri dan ulama, merasa jijik melihat Saras yang dianggap akan merusak reputasi kota tersebut.
Akibatnya, dukungan terhadap pasangan Paruzi dan Saras mulai goyah. Banyak pendukung setia yang mulai mengalihkan dukungan mereka ke calon lain. Bagi mereka, memilih pemimpin bukan hanya soal visi dan misi, tapi juga soal moral dan integritas.
“Kita nggak bisa biarin kota santri ini dipimpin oleh orang yang nggak punya moral. Saras itu bukan panutan!” teriak Lek Hanifo dalam sebuah diskusi di posko kampanye lawan.
Keputusan Paruzi untuk memilih Saras sebagai wakilnya pun mendapat cemoohan. Mantan Wakil Bupati yang sebelumnya dihormati kini dipandang lemah karena dinilai tak bisa memilih pasangan yang tepat.
“Paruzi itu sebenarnya punya peluang besar menang. Tapi setelah ini, saya rasa banyak yang kecewa. Bukan hanya karena Saras, tapi juga karena Paruzi nggak mampu menilai karakter orang dengan baik,” ungkap Pakde Surono, seorang tokoh masyarakat yang sebelumnya mendukung Paruzi.
Pencitraan Paruzi yang tadinya kuat sebagai pemimpin yang berpengalaman kini hancur seiring dengan jatuhnya reputasi Saras. Tim kampanye mereka pun kewalahan untuk memulihkan situasi. Setiap upaya klarifikasi hanya membuat situasi semakin buruk. Beberapa tim sukses bahkan memilih keluar dari kampanye, tak mau ikut terseret dalam pusaran masalah yang mereka anggap tak bisa diperbaiki.
Sementara itu, di tengah keretakan dukungan, Saras sendiri tampak santai. Ia tidak pernah benar-benar menanggapi serius reaksi publik atas tindakannya. Beberapa kali ia terlihat di acara-acara sosial dengan senyum lebar, seolah tidak peduli dengan badai yang mengelilinginya. “Ini hanya angin lalu,” katanya dalam sebuah wawancara singkat. Namun, bagi masyarakat Piringcawu, ini lebih dari sekadar angin. Ini adalah badai yang akan mengubah arah politik di kota mereka.
Panggung Politik yang Retak
Malam kampanye terakhir mendekat, namun suasana di posko kampanye Paruzi-Saras terasa tegang. Banyak kursi kosong, dan relawan-relawan yang dulu bersemangat kini lebih banyak memilih diam. Sebuah pertemuan darurat diadakan untuk membahas strategi. Paruzi, yang biasanya tenang, tampak gelisah. Semua strategi yang direncanakan terasa sia-sia, apalagi setelah dukungan dari partai-partai kecil mulai runtuh.
“Saras ini bikin kita kehilangan banyak simpati, Paruzi Kita harus segera ambil tindakan,” kata salah satu penasihat kampanye.
Paruzi hanya bisa mengangguk, menyadari bahwa memilih Saras mungkin adalah keputusan terburuk dalam karier politiknya. Cemoohan dari masyarakat semakin nyaring terdengar, dan nama baiknya kini terancam hilang dalam sejarah politik Piringcawu.
Namun, bisakah Paruzi menyelamatkan karier politiknya yang di ambang kehancuran? Atau akankah skandal Saras Handriyani menjadi titik akhir dari perjalanan mereka di panggung politik?(bersambung)